25 Agustus, 2012

Masjid Kobe, Kobe, Jepang

Syiar Islam di Jepang baru dimulai pada awal abad ke-20. Yang pertama kali menyebarkan Islam di Jepang adalah umat Muslim dari suku Tartar yang melarikan diri dari ekspansi Rusia. Orang Tartar pertama yang tiba di Jepang adalah Abdul-Rashid Ibrahim. Sejak itu, jumlah umat Muslim di negeri itu terus meningkat seiring semakin banyaknya orang Tartar yang masuk ke Jepang.

Pada tahun 1935, umat Muslim di Jepang menciptakan sejarah dengan mendirikan sebuah masjid di kota Kobe sebagai tempat beribadah bersama. Inilah masjid pertama yang didirikan di Jepang. Masjid Kobe dirancang oleh Abdul Karim Bochia dan dibuka secara resmi untuk umum pada tanggal 11 Oktober 1935. Upacara pembukaan tersebut dilaksanakan oleh Mian Abdul Aziz, mantan Presiden All-India Muslim League, atas undangan dari Komite Masjid Kobe.

Pada tahun 1938, dibangun sebuah masjid lagi di kota Tokyo. Sejak itu, Islam terus berkembang di seluruh Jepang. Hingga tahun 1982, jumlah umat Muslim di Jepang kira-kira 30 ribu orang. Dari jumlah itu, setengahnya adalah orang asli Jepang, sedangkan yang lain beragam asal-usulnya.

Masa-masa Awal yang Berat
Sejarah Masjid Kobe terkait erat dengan riwayat keluarga Kirky. Keluarga Muslim ini berasal dari suku Tartar yang banyak tersebar di Turki, Asia Tengah, dan Rusia. Keluarga Kirky memperoleh suaka di Jepang pada masa meletusnya Revolusi Bolsyewik menjelang akhir Perang Dunia I (1914 – 1918). Untuk menghindari penindasan oleh Tentara Merah di bawah pimpinan Josef Stalin, banyak orang Tartar yang menyingkir ke Turki. Setelah memiliki paspor Turki, mereka menyebar hingga ke Finlandia dan Manchuria.

China pada masa itu sedang terpuruk dan miskin, sehingga para migran Tartar terpaksa mencari suaka ke Jepang, yang saat itu teknologinya lebih maju. Perpindahan ini adalah perpindahan yang berani, karena orang-orang Tartar ini hanya memiliki sedikit uang dan tidak memahami bahasa Jepang. Namun, orang Tartar memiliki reputasi sebagai pemberani. Banyak dari leluhur mereka yang menjadi pendekar dan sarjana terkenal. Salah satunya adalah Salahuddin Al Ayubi, sultan Turki yang termasyhur karena berhasil mengusir tentara Salib yang hendak merebut Yerusalem.

Pada tahun 1922, para migran Tartar tiba di Jepang. Terdiri dari 13 keluarga, mulanya mereka tinggal di Nagoya dan membangun sebuah sekolah kecil di sana. Karena bisnis di Nagoya tidak berkembang, salah seorang migran yang bernama Hussein Kirky memutuskan untuk pindah ke Kobe. Pada saat itu di Kobe telah ada sekitar 200-an keluarga Tartar yang berbicara dalam bahasa Turki. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang bernama Turkish Tartar Association of Kobe.

Karena telah dipaksa untuk meninggalkan hampir segala milik mereka di Rusia, orang-orang Tartar ini tidak kaya. Tetapi mereka adalah pekerja keras yang tangguh. Hussein Kirky menjadi tauladan bagi para migran ini. Pak Hussein lebih suka berjalan kaki daripada naik bus dan tidak suka naik taksi. Beliau adalah seorang Muslim yang taat, ayah yang baik, dan figur yang kharismatik. Pak Hussein dengan cepat menjadi sosok terkemuka dalam masyarakat Kobe.

Umat Muslim pertama yang menetap di Jepang adalah para pedagang. Pada masa-masa awal yang berat, ketika jumlah mereka masih sedikit, mereka berkumpul di salah satu rumah umat Muslim untuk ibadah berjamaah. Pada dekade 1920-an, ketika beberapa pedagang India yang kaya menetap di Kobe, mereka mendirikan Kobe India Club. Ibadah bersama antara umat Muslim dari suku Tartar maupun India sering dilaksanakan di klub tersebut. Untuk melaksanakan acara-acara yang lebih besar, umat Muslim di Kobe harus menyewa sebuah aula di sebuah hotel bernama Tor.

Mendirikan Masjid
Pada pertengahan tahun 1920-an, komunitas umat Muslim di Jepang semakin berkembang dengan kedatangan para pengusaha tekstil dari India. Mereka menambah jumlah umat Muslim yang sebelumnya terdiri dari para migran Tartar dan beberapa orang Arab – termasuk staf Kedutaan Besar Mesir. Pada akhir tahun 1920-an, kebutuhan akan sebuah masjid akhirnya tidak dapat ditahan lagi.

Pada tahun 1928, umat Muslim di Kobe membentuk sebuah komite pembangunan masjid yang dipimpin oleh Ferozuddin, seorang pengusaha tekstil yang kaya dari India. Para pengusaha India, Arab dan Mesir, yang sering bepergian ke luar negeri, berusaha mengumpulkan dana dengan meminta sumbangan dari umat Muslim yang kaya di negara mana pun yang mereka singgahi. Pengumpulan dana itu berjalan selama sekitar 5 hingga 6 tahun. Karena diperkirakan masih kurang juga, maka Pak Ferozuddin menyumbangkan 66,000 yen – jumlah yang sangat besar ada waktu itu – untuk menggenapi biaya pembangunan.

Setelah dana terkumpul, Komite Masjid Kobe segera membeli sebidang tanah. Pada tanggal 30 November 1934, Muhammad Bochia, yang mengajukan usul untuk mendirikan masjid dan mengawasi keseluruhan proyek tersebut, meletakkan batu pertama. Pembangunan masjid dikerjakan oleh Takaneka Construction Company. Pembangunan tersebut memerlukan waktu sekitar 2 tahun, yang diawasi secara cermat dan ketat oleh Vallynoor Mohamed.


Masjid Kobe dilihat dari udara.
Masjid Kobe dilihat dari Gunung Rokko setelah pemboman Sekutu.

Pada hari Jumat, tanggal 2 Agustus 1935, Masjid Kobe dibuka secara resmi oleh Pak Ferozuddin, dengan disaksikan oleh umat Muslim Jepang yang berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Rusia, Manchuria, China, Turkistan, Jawa, Jepang, Mesir hingga Afghanistan. Setelah pidato singkat oleh P.M. Master, Pak Ferozuddin membuka gerbang masjid dengan sebuah kunci perak. Kemudian Pak Ferozuddin mendaki menara dan mengumandangkan azan pertama untuk memanggil umat Muslim melakukan shalat Jumat. Shalat Jumat berjamaah pertama yang bersejarah itu dipimpin oleh imam Masjid Kobe yang pertama, yaitu Imam Mohamed Shamguni.

Karena saat itu masih musim panas, baru pada 11 Oktober 1935 Komite Masjid Kobe dapat mengundang para pejabat Jepang dan pemimpin komunitas nonmuslim untuk menyaksikan masjid tersebut. Ada sekitar 600-an undangan yang hadir pada acara tersebut, yang dilanjutkan dengan sebuah resepsi besar di Hotel Tor. Upacara pembukaan untuk umum tersebut dilaksanakan oleh Mian Abdul Aziz, mantan Presiden All-India Muslim League, atas undangan dari Komite Masjid Kobe.

Walikota Kobe saat itu, Ginjiro Katsuda, mengucapkan selamat kepada umat Muslim di Kobe dan berharap bahwa Masjid Kobe dapat menjadi sarana untuk mempromosikan persahabatan antar-bangsa. Walikota juga berharap agar umat Muslim di kota-kota lain di Jepang juga membangun tempat ibadah, agar silaturahmi antar-umat Muslim di Jepang menjadi semakin erat.

Karena Islam di Jepang pada saat itu belum diakui sebagai salah satu agama resmi oleh pemerintah, semua urusan administrasi harus diatasnamakan secara pribadi. Maka Masjid Kobe didaftarkan sebagai salah satu hak milik Pak Ferozuddin, yang telah memberikan sumbangan sangat banyak untuk membeli tanah di mana masjid itu kini berdiri.

Biaya total pembangunan masjid itu sendiri, setelah dikalkulasi, mencapai jumlah 118,774.73 yen, yang sebagian besar diperoleh dari sumbangan para pengusaha India serta konsulat Mesir dan Afghanistan serta Turko-Tartar Association. Dengan dana sebesar itu, Komite mampu membangun - selain bangunan utama – sebuah sekolah Islam untuk anak-anak. Ternyata masih ada juga dana yang tersisa, sehingga Komite menginvestasikannya dengan membeli tiga buah banguan di dekat masjid yang selanjutnya disewakan.

Sejak peresmian itu, ibadah keagamaan pun mulai dilakukan secara teratur di Masjid Kobe. Setelah Imam Mohamed Shamguni wafat pada tahun 1939, Hussein Kirky menjadi imam sementara hingga ada imam resmi. Namun, imam resmi yang ditunggu-tunggu tidak pernah datang, dan Pak Hussein tetap memimpin ibadah selama 40 tahun berikutnya.

Muazin saat itu adalah Ahmedy Mohamady, seorang Turki yang datang ke Jepang pada tahun 1920-an. Dia tinggal di masjid dan menjadi takmir yang mengelola dan membersihkan masjid sekaligus menjadi perawat taman. Dia melarang anak-anak bermain atau membuat kegaduhan di dalam masjid. Dia juga melarang ibu-ibu muda membawa bayi ketika hendak shalat di masjid karena, ketika bayi diletakkan di atas karpet sementara si ibu shalat, bisa saja si bayi mengotori karpet.

Ahmedy melaksanakan tugas sebagai muazin dengan dedikasi tinggi. Bahkan pada tahun 1990-an, ketika usianya sudah sangat lanjut, dia masih berani mendaki menara untuk mengumandangkan azan. Namun, akhirnya Ahmedy hanya mengumandangkan azan di dalam masjid dengan mikrofon kecil karena masyarakat setempat merasa terganggu oleh suara azan. Ahmedy hidup hingga usia 102 tahun.

Keajaiban Masjid Kobe
Pada tahun 1939, Perang Dunia II meletus. Ketika Jepang terlibat perang melawan Sekutu, banyak orang India dan Tartar mengungsi ke luar negeri. Kemudian Amerika Serikat mulai membombardir Tokyo dan Yokohama, dan Kobe pun tak luput dari bom.

Umat Muslim yang tetap bertahan di Kobe memutuskan untuk melindungi masjid mereka. Untuk mencegah kebakaran dan melindungi lantai masjid yang indah, mereka melapisi lantai dengan kertas minyak, tatami, dan pasir setebal sekitar 2,5 cm. Akibatnya, umat Muslim yang tersisa tidak bisa bersembahyang di sana selama perang berlangsung.

Pada tahun 1943, Masjid Kobe disita oleh Angkatan Laut Jepang dan dijadikan sebagai tempat penyimpanan peralatan khusus di lantai dasar. Pihak Komite tidak diberitahu tentang peralatan tersebut tetapi tidak mampu menolak. Masjid pun praktis tidak bisa digunakan untuk kegiatan apapun. Kemungkinan besar, peralatan yang disimpan di sana sangat penting, karena masjid itu selalu dijaga oleh sekitar 10 orang tentara selama perang.

Walaupun Kobe dibombardir habis-habisan oleh pesawat-pesawat Sekutu, namun Masjid Kobe tetap kukuh berdiri. Padahal, bangunan-bangunan lain di sekelilingnya telah hancur berkeping-keping menjadi puing-puing dan rata dengan tanah. Masjid Kobe hanya mengalami retak-retak pada dinding bagian luar dan warnanya menjadi hitam karena jilatan api. Namun, hawa panas akibat bom juga melelehkan dan merusak semua jendela. Sedangkan bangunan sekolah yang terbuat dari kayu dan tempat wudhu di samping masjid juga rusak parah.

Pada tahun 1947, setelah perang berakhir, umat Muslim kembali ke Kobe. Banyak orang Tartar yang datang dari China hingga jumlahnya mencapai 360 orang. Para pengusaha India dan keluarganya juga kembali ke Kobe. Semua rumah mereka telah hancur lebur karena bom. Namun, Masjid Kobe yang tetap kukuh berdiri diserahkan kembali kepada mereka.

Negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi dan Kuwait segera memberikan bantuan sebesar 2,000 pounds sterling untuk merestorasi Masjid Kobe. Kaca-kaca baru untuk jendela pun didatangkan dari Jerman. Abdul Hadi Debbs, anggota Komite dan pengusaha yang terpandang, turut menyumbangkan dana. Seorang pengusaha terpandang lain, Mr. Al Bakir, menyumbangkan kandil-kandil dan sistem pendingin udara.

Pada tanggal 17 Januari 1995, gempa besar mengguncang Kobe. Gempa ini dikenal sebagai The Great Kobe Earthquake. Gempa tersebut, yang berlangsung selama sekitar 20 detik, meluluhlantakkan seluruh kota Kobe. Sekitar 5000 orang meninggal dan 35000 orang cedera. 180000 bangunan rusak parah dan 300000 orang kehilangan tempat tinggal.

Namun, karena lantai dasar dan strukturnya yang dirancang dengan cermat, Masjid Kobe tidak terpengaruh walaupun kekuatan gempa tersebut sangat besar, yaitu 7,3 skala Richter. Masjid ini menjadi satu-satunya bangunan di pusat kota Kobe yang tetap berdiri ketika semua bangunan lain di seluruh Kobe runtuh. Karena itu, umat Muslim Kobe yang kehilangan tempat tinggal dapat mengungsi untuk sementara waktu di masjid ini.

Kini, Masjid Kobe masih berdiri dan menjadi tempat ibadah umat Muslim di Kobe. Komite Masjid Kobe saat ini dipimpin oleh Yusuf Badhelia, seorang pengusaha terpandang keturunan India. Takmir Masjid Kobe telah memanfaatkan media internet untuk memberikan informasi kepada khalayak mengenai syiar Islam di Jepang pada umumnya dan Masjid Kobe pada khususnya. Korespondensi dengan takmir masjid tersebut dapat dilakukan melalui alamat 2-25-14, Nakayamate Dori, Chuo-ku, Kobe 650-0004, Japan, Tel: 078-231-6060, Fax: 078-231-6061, E-mail : kobe_muslim_mosque@hotmail.com.


Daftar bacaan
Caesar E. Farah, 2003. Islam: beliefs and observances. New York: Barron's Educational Series.
Ahmad Rashid Malik, 2008. Pakistan-Japan Relations: Continuity and Change in Economic Relations and Security Interests. New York: Taylor & Francis.

Sumber Internet:
“The Story of Kobe Mosque”, tersedia di http://www.kobemosque.org/History English.htm,

Sumber gambar:
http://en.wikipedia.org/wiki/Kobe_Mosque.
http://wikimapia.org/4465360/Kobe-Mosque-Kobe-Japan

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More